cerpen Kisah seorang anak dengan ayahnya
Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti
apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah,
kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”
Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama,
karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa
menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan
sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam
tahun.
Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak,
“Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru
terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus
awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.
Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi
sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan
pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh,
ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”
Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik
ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada
sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat
wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka
sudah berada di puncak gunung.
“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu
cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah
yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini?
Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang
keruh?”
Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam
pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung
dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu
indah…”
Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana,
wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul
penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin
tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya,
kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.
Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar
indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun
pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak
cacat. Keindahannya semu.
Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh,
apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan
sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku,
mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa
‘gunung’ itu indah.
Related Post:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar